PORNOGRAFI: 5 Kategori & Tantangan Ke Depan
jbdk-asabook-thumb.jpg

JBDK menjadi salah satu kontributor buku "Pornografi: Fenomena, Resiko & Penanggulangannya di Indonesia". Diterbitkan atas kerjasama Kementerian Koordinator Bidang Kesejahteraan Rakyat dengan Aliansi Selamatkan Anak/ASA Indonesia.
Buku ini terdiri dari 23 tulisan hasil karya, di antaranya: Taufik Ismail (Penyair/Sastrawan); Prof. Dr. dr. Dadang Hawari (Psikiater), Wirianingsih, Inke Maris, Tatty Elmier, Elly Risman, Ratna Maida Hasyim Ning, Shakina Mirfa, Amelia Naim Indrajaya, Mas Wigrantoro Roes Setiyadi, Peri Umar Farouk, Hilman Al Madani, Visrie Lidienillah, Tris Susanto, Fetty Fajriati Miftach (Anggota KPI), Adil Quarta Anggoro, Qadr Jatsiah, Naufala Bamasymus, Pdt. Dr. Nicolas J Woly, Syafiq Jawad, Farid Ridwanullah, Ahlul Faradish Resha.

jbdk-astro-thumb.JPG

JBDK (Tim Jakarta, Semarang & Yogyakarta lengkap: Peri Umar Farouk, Bagus Cupid Band, Anto, Ismail Sebikom, Lafran Raythoudin, Joko Badeg, dan beberapa simpatisan) mendapat liputan AstroTV dalam program 'Telaah'. Liputan Telaah ini dilengkapi pernyataan dan penjelasan berbagai pihak kompeten, yakni: Muhammad Nuh (Menkominfo), Judith MS (Asosiasi Warnet Indonesia/AWARI), Donny BU (ICT/Pengamat Internet), dan testimoni Sarah Azhari (kasus penyadapan film terhadap beberapa artis oleh fotografer Budi Han). Lihat Galleri: Telaah 'Bedah Situs Porno', AstroTV
WHAT'S NEW? Nyang mo gabung JBDK Social Networking: http://jebedeka.ning.com. Nyang mo baca puisinya Putri Nuzul Huda, klik: Nyatanya Aku Ini Sampah?. Nyang mo lihat posternya Ratri Primayani, klik: Boleh Usil, Boleh Centil, Jangan Bugil!


Sebulan persis setelah disahkan DPR-RI tanggal 30 Oktober 2008, RUU Pornografi berlaku efektif, setelah pemerintah mengesahkannya sebagai Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi (selanjutnya disingkat UUP). Namun sejauh pengamatan penulis, meski dikesankan bahwa segala tindak pornografi adalah kejahatan, sehingga mempunyai resiko pidana, sampai saat ini belum ada yang memetakan secara sistematis pornografi sebagaimana dianut UUP, beserta pengaturan terhadap kategori-kategori hasil pemetaannya. Kurang lebih tulisan ini bermaksud memenuhi kebutuhan tersebut, sehingga menjadi terang dalam pemahaman setiap orang bahwa ternyata ada beberapa jenis pornografi dalam UUP, yang sudah tentu membawa konsekuensi yuridis berbeda bagi masing-masingnya. Pembahasan akan ditambah dengan pengaturan pidananya, serta tantangan ke depan yang masih menjadi pekerjaan rumah penegakan hukum dalam rangka UUP.

Peta Pornografi & Konsekuensi Yuridisnya

Memperhatikan secara utuh, isi serta penjelasan UUP, kita akan mendapatkan lima kategori pornografi sebagai berikut:

Kategori pertama adalah pornografi dalam arti luas. Pengertiannya bisa kita dapatkan di Pasal 1 butir 1 yang menyatakan bahwa:

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi, foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan/atau pertunjukan di muka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Di sini kata kuncinya adalah: (i) adanya materi atau pesan; (ii) yang diekspos melalui media komunikasi dan/atau pertunjukan; (iii) yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual; (iv) yang melanggar norma kesusilaan.

Pidana berkenaan dengan pornografi dalam arti luas, secara letterlijk terbatas hanya diancamkan pada dua macam perbuatan. Yakni dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Ps. 8); dan menjadikan orang lain sebagai objek atau model yang mengandung muatan pornografi (Ps. 9). Penting diperhatikan dalam hal ini adanya Penjelasan bagi Pasal 8 yang membebaskan tuntutan pidana bagi seseorang yang menjadi objek atau model pornografi, bilamana ia berada dipaksa dengan ancaman atau dibawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain.

Kedua, pornografi eksplisit (hardporn) sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 ayat (1). Yang termasuk kategori ini adalah pornografi yang secara eksplisit memuat:

  1. Persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang, antara lain persenggamaan atau aktivitas seksual lainnya dengan mayat, binatang, oral seks, anal seks, lesbian, dan homoseksual;
  2. Kekerasan seksual, antara lain persenggamaan yang didahului dengan tindakan kekerasan (penganiayaan) atau mencabuli dengan paksaan atau pemerkosaan;
  3. Masturbasi atau onani;
  4. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan. Mengingat frasa ‘mengesankan ketelanjangan’ bisa ditafsir bebas, Penjelasan UUP menegaskan maksudnya sebagai suatu kondisi seseorang yang menggunakan penutup tubuh, tetapi masih menampakkan alat kelamin secara eksplisit.
  5. Alat kelamin; atau
  6. Pornografi anak, yakni segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang menampilkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.

Pidana berkenaan dengan hardporn mendominasi ketentuan UUP. Dilihat dari kata kerja yang menandakan tindak pidananya saja terdapat 22 jenis perbuatan. Yakni: memproduksi; membuat; memperbanyak; menggandakan; menyebarluaskan; menyiarkan; mengimpor; mengekspor; menawarkan; memperjualbelikan; menyewakan; menyediakan; meminjamkan; mengunduh; memperdengarkan; mempertontonkan; memanfaatkan; memiliki; menyimpan produk; mendanai; memfasilitasi; atau mempertontonkan diri atau orang lain dalam pertunjukan atau di muka umum.
Kekecualian diberikan berdasarkan Penjelasan Pasal 4 ayat (1) dan Pasal 6. Membuat, memiliki atau menyimpan materi hardporn untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri, terbebas dari jeratan pidana.

Ketiga, pornografi samar (softporn), atau yang sering disebut sebagian pihak sebagai pornografi abu-abu. Pengertian ini menyempil di Pasal 13 ayat (1) dengan bersembunyi pada frasa pornografi yang memuat “selain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1)”. Di penjelasannya kita akan menemukan contoh, misalnya majalah yang memuat model berpakaian bikini, baju renang, dan pakaian olahraga pantai, yang digunakan sesuai dengan konteksnya.

Terhadap pornografi samar, Undang-undang tentang Pornografi sama sekali tidak mengancamkan pidana. Yang ada hanya masalah pembatasan bagi pembuatan, penyebarluasan dan penggunaannya, yakni wajib mendasarkan pada peraturan perundang-undangan. Kemudian terdapat syarat harus dilakukan di tempat dan dengan cara khusus, yang hanya dijelaskan sebagai penempatan yang tidak dapat dijangkau oleh anak-anak atau pengemasan yang tidak menampilkan atau menggambarkan pornografi.

Dengan demikian secara yuridis, materi serta media mendapatkan legitimasi untuk secara bebas mengekspos pornografi samar, asal patuh kepada peraturan pemerintah yang akan diberlakukan nantinya. Pengaturan meliputi masalah antara lain: memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengunduh, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, meminjamkan, menyediakan, memperdengarkan, mempertontonkan, memanfaatkan, memiliki atau menyimpan materi/media softporn.

Keempat, jasa pornografi, yang secara umum diartikan sebagai segala jenis layanan pornografi yang disediakan oleh orang perseorangan atau korporasi melalui pertunjukan langsung, televisi kabel, televisi teresterial, radio, telepon, internet, dan komunikasi elektronik lainnya serta surat kabar, majalah, dan barang cetakan lainnya.
Ancaman pidana diberikan terbatas kepada penyedia jasa pornografi. Ini pun terbatas pada penyediaan jasa pornografi dalam bentuk:

  1. Menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;
  2. Menyajikan secara eksplisit alat kelamin;
  3. Mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual;
  4. Menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

Terakhir, pornografi anak. Pengertian umumnya bisa dibaca di Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf f, yang menetapkan bahwa: “Pornografi anak adalah segala bentuk pornografi yang melibatkan anak atau yang menampilkan orang dewasa yang berperan atau bersikap seperti anak.” Yang dimaksud sebagai anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun.

Tindak pidana pornografi anak menyangkut seluruh bentuk tindakan yang berkenaan dengan pornografi secara umum, hardporn, softporn maupun jasa pornografi yang melibatkan anak dalam kegiatan dan/atau menjadi objeknya. Ancaman terhadap tindak pidana pornografi anak, sebagaimana disebutkan Pasal 37 UUP diperberat 1/3 (sepertiga) dari maksimum ancaman pidana masing-masing pasal pidana yang bersangkutan. Delik pornografi anak juga dikenakan pada perbuatan mengajak, membujuk, memanfaatkan, membiarkan, menyalahgunakan kekuasaan atau memaksa anak dalam menggunakan produk atau jasa pornografi.

Sebagaimana diuraikan di atas, dari bagian tulisan ini, dapat ditarik kesimpulan bahwa: UUP menganut adanya 5 kategori pornografi; sebagian di antaranya merupakan kejahatan, sebagian lainnya bukan kejahatan. Yang dikecualikan sebagai kejahatan adalah:

  • Tindakan menjadi objek atau model pornografi, yang berada di bawah paksaan dengan ancaman atau diancam atau di bawah kekuasaan atau tekanan orang lain, dibujuk atau ditipu daya, atau dibohongi oleh orang lain;
  • Tindakan membuat, memiliki atau menyimpan materi hardporn untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri;
  • Tindakan pornografi samar.

Pengaturan Pidana Korporasi

Berdasarkan pelakunya, tindak pidana pornografi bisa dilakukan perseorangan atau korporasi baik yang berbadan hukum maupun tidak. Yang dimaksud tindak pidana pornografi dengan pelaku korporasi adalah jika tindak pidananya dilakukan oleh orang-orang, baik berdasarkan hubungan kerja maupun berdasarkan hubungan lain, bertindak dalam lingkungan korporasi tersebut, baik sendiri maupun bersama-sama

Berkenaan dengan pelaku korporasi, UUP mengancamkan pidana yang relatif keras. Selain pidana penjara dan denda terhadap pengurus korporasi, pidana denda 3 kali lipat maksimum pidana denda sebagaimana ditentukan masing-masing pasal yang bersangkutan, diancamkan juga terhadap korporasinya sendiri. Selain itu, korporasi juga dapat dikenakan pidana tambahan berupa: (a) pembekuan izin usaha; (b) pencabutan izin usaha); (c) perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan (d) pencabutan status badan hukum.

Tantangan Ke Depan

Gerakan “Jangan Bugil Depan Kamera!” (JBDK) berkesimpulan, beberapa kecenderungan perilaku masyarakat Indonesia di internet serta berkenaan dengan teknologi informasi, dapat mencerminkan seriusnya gejala pornografi di Indonesia. Survey awal (JBDK) di pertengahan tahun 2007 yang menghasilkan jumlah 500+ mini video porno Indonesia, di tahun 2008 bertambah jumlahnya sebesar 20%. Penyebarannya pun semakin terang-terangan, mengingat terbitnya beberapa situs koleksi khusus mini video porno Indonesia, yang bisa diunduh setiap orang hanya dengan membayar access-fee tidak lebih dari Rp 350.000,-.

Peringkat akses Indonesia dengan kata kunci sex, xxx, serta porno, dan kata kunci beberapa idola sex dunia, menurut tool statistik google.com yang dikenal sebagai googletrends, meningkat terus setiap tahunnya. Dengan kata kunci ‘sex’, Indonesia menduduki peringkat ke-5 sedunia di tahun 2006. Tahun 2007 meningkat ke peringkat 4. Dan terakhir, tahun 2008 bertengger di nomor 3. Dengan kata kunci ‘Pamela Anderson’, bintang porno Hollywood, Indonesia menclok di peringkat 1 dunia. Bahkan dengan kata kunci idola sex Jepang, ‘Maria Ozawa’ alias ‘Miyabi’, 4 tahun berturut-turut sampai tahun ini, Indonesia memegang rekor bertahan sebagai juara 1.

Lebih memprihatinkan lagi bila dilihat lebih lanjut, berdasarkan data google.com tersebut, daerah-daerah pengaksesnya adalah kota-kota di mana konsentrasi pelajar dan mahasiswa berada. Di peringkat pertama akan terlihat kota Yogyakarta, Semarang, kemudian diikuti Palembang, Jakarta, Bandung, dan lain-lain. Disamping menggambarkan adanya perilaku serta pergaulan pelajar dan mahasiswa yang problematik, serta pola pengasuhan dan pendidikan yang kurang menanamkan wawasan dan tanggung jawab, hal ini dapat diterjemahkan pula sebagai salah tujuan yang bersifat ekonomi. Akses berkonotasi porno, atau sekurang-kurangnya berkonotasi seksual menghabiskan akses-akses publik yang bersifat murah atau bersubsidi, bahkan gratis yang seharusnya dipakai untuk akses-akses yang lebih bermanfaat, seperti: hotspot di berbagai tempat publik, tempat perbelanjaan, tempat jajan, hotel, alun-alun, sekolah, perguruan tinggi, perpustakaan, dan lain-lain. Angka akses yang tertera di youtube.com, situs populer penyedia video di internet, untuk mini video skandal anggota DPR-RI dengan penyanyi dangdut YZ-ME, dalam 1 bulan akses di tahun 2006, mencapai 1,96 juta. Sehingga dengan perhitungan disederhanakan dengan biaya akses Rp 1000,- saja, total menghasilkan angka Rp 1,96 milyar. Angka yang bisa mencapai ratusan kali lipat bila mengalikannya dengan biaya semua kecenderungan pornografis masyarakat Indonesia di Internet selama ini.

Gejala lain yang perlu mendapatkan perhatian adalah maraknya eksibisionisme remaja Indonesia di internet, terutama di situs-situs jejaring sosial. Bahkan untuk jejaring sosial yang umum saja, bukan berkategori kencan (dating) atau berkonotasi seksual, perkembangan jumlah materi Indonesia bertagline ‘private’ atau ‘adult’ content, tumbuh sampai 100% setiap bulannya. Secara global, situs jejaring sosial merupakan trend masa depan yang sangat menggiurkan. Angka pendapatan iklan di situs jejaring sosial di tahun 2008 mencapai US$ 1,1 bilyun. Perkiraan di tahun 2013 akan mencapai US$ 7,3 bilyun. Bill Tancer dari internet tracking company Hitwise, dalam buku “Click: What Million of People Are Doing Online & Why It Matters”, menyatakan hasil risetnya bahwa seiring 50% menurunnya kunjungan ke situs resmi porno, kunjungan ke situs jejaring sosial meningkat tajam, dengan mayoritas pengunjung berusia 18-24 tahun.

Menghadapkan kecenderung-kecenderungan di atas dengan aturan UUP, terutama berkenaan dengan pengecualiannya, memunculkan berbagai tantangan. Dibebaskannya membuat, memiliki, atau menyimpan materi pornografi, bahkan yang hardporn sekalipun, akan memunculkan berbagai pertanyaan. Apakah orang mendokumentasi kecabulannya bersama pasangan, pacar atau prostitut merupakan tindakan membuat untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri? Hal ini penting, mengingat membuktikan adanya paksaan yang bersifat fisik dalam kasus-kasus perkosaan saja tidaklah mudah. Apalagi bila sebenarnya yang terjadi adalah paksaan mental atau psikis, terutama kepada pihak perempuan. Kasus-kasus eksploitasi yang mengiringi fenomena cabul depan kamera selama ini, berawal dari dokumentasi yang tampaknya wajar dan sukarela.

Perbuatan memiliki dan menyimpan untuk dirinya sendiri dan kepentingan sendiri, akan berkaitan dengan masalah konsumsi serta produksi pornografi. Dengan demikian aturan ini tampak sebagai legalisasi belanja pornografi bagi warga negara Indonesia, setidaknya melalui internet atau ke depannya tidak mustahil bisnis global pornografi melalui teknologi mobile content.

Masalah selanjutnya adalah pengertian apa yang disebut sebagai ruang privat dan ruang publik. Termasuk ruang privat atau ruang publikkah berbagai fasilitas atau fitur di internet? Menggejalanya kecenderungan eksibisionisme remaja Indonesia di situs jejaring sosial adalah salah satu pemasok besar materi pornografi yang selama ini beredar.
Berkenaan dengan penerapan bahwa ‘pornografi abu-abu bukanlah kejahatan yang dapat dipidana’, maka peraturan perundang-undangan organik yang diamanatkan UUP mesti dijaga jangan sampai menjadi regulasi yang melegitimasi penerbitan atau mengudaranya media-media porno samar. Bayangkan bila media khusus swimsuit dan semacamnya merambah jadi industri televisi kabel, internet atau mobile content. Harapannya di peraturan perundang-undangan organik ini, gairahnya lebih condong bahwa industri pornografi sesamar apapun sebagai bidang yang masuk di daftar negatif investasi, baik dari dalam negeri maupun luar negeri.

Di luar tantangan-tantangan tersebut, mari kita sambut UUP sebagai sebuah ikhtiar kepedulian Indonesia terhadap kesehatan mental generasi bangsanya. Saat ini telah bergetar satu syaraf kesadaran virtual baru, bahwa pornografi bukan hal remeh karena mempunyai konsekuensi pidana yang berat. Ke depan mudah-mudahan tidak akan ada lagi korban sebagaimana di jaman pasal kesusilaan KUHP, yang dengan rasa ketidakpuasan menyatakan, “Sangat tidak adil! Perbuatan yang bisa membuat seseorang bahkan keluarganya menderita seumur hidup, hanya diganjar dengan penjara yang berhitung bulanan.” (Esei Peri Umar Farouk, Resources Coordinator JBDK)

MOSI KEBERATAN TIM KERJA GERAKAN ‘JANGAN BUGIL DEPAN KAMERA!’ TERHADAP SONY ADI SETYAWAN (SONY SET)
Biasanya kami hanya saling tertawa menanggapi perilaku dan komentar yth. Sony Set berkenaan dengan kampanye Jangan Bugil Depan Kamera, karena semakin hari semakin tampak bahwa beliau lebih banyak mengungkapkan hal-hal di luar kenyataan, bombastik dan sok heroik. Namun tulisan beliau di blog tvlab.blogspot.com tertanggal 21 Februari 2008 berjudul: ’JBDK – Saatnya Kita Bergerak Bersama!’, kami rasa wajib kami tanggapi karena mengandung (i) pelecehan dan (ii) adanya pembalikan berbagai fakta di gerakan JBDK. <Baca lengkap: Mosi Keberatan>|<Download versi .pdf: /mosi-keberatan/Mosi Untuk Sony Set.pdf>

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.