Perda Kodya Tangerang No. 8 Tahun 2005 tentang Pelarangan Pelacuran

PERDA NOMOR 8 SERI E TAHUN 2005
Tentang
PELARANGAN PELACURAN

Dengan Rahmat Tuhan Yang Maha Esa

Walikota Tangerang

Menimbang:

a. Bahwa pelacuran merupakan suatu perbuatan yang bertentangan dengan norma agama dan kesusilaan yang berdampak negatif terhadap sendi – sendi kehidupan masyarakat;

b. Bahwa dalam upaya melestarikan nilai – nilai luhur budaya masyarakat yang tertib dan dinamis serta dalam rangka mencegah pelanggaran terhadap praktek – praktek Pelacuran di Kota Tangerang perlu menetapkan Peraturan Daerah tentang Pelarangan Pelacuran

Mengingat:

1. Undang – Undang Nomor 6 Tahun 1974 tentang Ketentuan – Ketentuan Pokok Kesejahteraan Sosial (LNRI Tahun 1974 Nomor 53 Tambahan LNRI Nomor 3039)

2. UU No 8 Tahun 1981 tentang KUHAP (LNRI Tahun 1981 Nomor 76, Tambahan LNRI Nomor 3209)

3. UU No 2 Tahun 1993 tentang pembentukan Kotamadya Daerah Tingkat II Tangerang (LNRI Tahun 1993 Nomor 18, Tambahan LNRI nomor 3518)

4. UU No 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang – undangan (LNRI Tahun 2004 No 53 Tambahan LNRI 4389)

5. UU No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (LNRI Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan LNRI Nomor 4437);

6. PP No 27 Tahun 1983 tentang Pelaksanaan KUHAP (LNRI Tahun 1983 No 36)

7. PP No 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (LNRI Tahun 2000 No 54, Tambahan LNRI Nomor 3952)

8. PP No 18 Tahun 2000 tentang Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (Lembaran Daerah Kota Tangerang Tahun 2000 Nomor 4 seri C)

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH KOTA TANGERANG

Dan

WALIKOTA TANGERANG
MEMUTUSKAN

Menetapkan : PERATURAN DAERAH TENTANG PELACURAN

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Daerah ini yang dimaksud dengan:

1. Daerah adalah Kota Tangerang
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintahan Kota Tangerang
3. Pelacuran adalah hubungan seksual di luar pernikahan yang dilakukan oleh pria atau wanita, baik ditempat berupa Hotel, Restoran, Tempat Hiburan atau lokasi pelacuran ataupun ditempat – tempat lain di Daerah dengan tujuan mendapatkan imbalan jasa
4. Tim adalah tim yang dibentuk dengan Keputusan Walikota yang keanggotaannya terdiri dari dinas/instansi dan pihak terkait
5. pelarangan adalah sesuatu yang tidak diperbolehkan/tidak diperkenankan
6. Pelacur adalah setiap orang baik ataupun wanita yang menjual diri kepada umum untuk melakukan hubungan seksual di luar pernikahan
7. hubungan seksual adalah hubungan perkelaminan antara dua jenis kelamin yang berbeda atau dua jenis kelamin yang sama.

BAB II

PELARANGAN

Pasal 2

(1) Setiap orang di Daerah baik sendiri – sendiri ataupun bersama – sama dilarang mendirikan dan/atau mengusahakan atau menyediakan tempat dan/atau orang untuk melakukan pelacuran

(2) Siapapun di Daerah dilarang baik secara sendiri ataupun bersama- sama untuk melakukan perbuatan pelacuran

(3) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan (2) pasal ini berlaku juga bagi tempat – tempat hiburan, hotel, penginapan atau tempat – tempat lain di Daerah .

Pasal 3

Setiap orang dilarang membujuk atau memaksa orang lain baik dengan cara perkataan, isyarat, tanda atau cara lain sehingga tertarik untuk melakukan pelacuran

Pasal 4

(1) Setiap orang yang sikap atau perilakunya mencurigakan, sehingga menimbulkan suatu anggapan bahwa ia/mereka pelacur dilarang berada di jalan – jalan umum, dilapangan –lapangan, dirumah penginapan, losmen, hotel, asrama, rumah penduduk/kontrakan, warung – warung kopi, tempat hiburan, gedung tempat tontonan, di sudut – sudut jalan atau di lorong – lorong atau tempat – tempat lain di daerah

(2) Siapapun dilarang bermesraan, berpelukan dan/atau berciuman yang mengarah kepada hubungan seksual, baik di tempat umum atau di tempat – tempat yang kelihatan oleh umum

BAB III

PENINDAKAN DAN PENGENDALIAN

Bagian Pertama

Penindakan

Pasal 5

1) Walikota berwenang menutup dan menyegel tempat – tempat yang digunakan atau yang patut diduga menurut penilaian dan keyakinannya digunakan sebagai tempat pelacuran

2) Tempat – tempat yang ditutup sebagaiman dimaksud pada ayat (1) pasal ini, dilarang dibuka kembali sepanjang belum ada jaminan dari pemilik/pengelolanya bahwa tempat itu tidak akan digunakan lagi untuk menerima tamu dengan maksud melakukan perbuatan pelacuran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pasal ini.

Pasal 6

Terhadap orang yang terjaring razia karena melanggar ketentuan Pasal 4 Peraturan Daerah ini, Walikota atau pejabat yang ditunjuk mengembalikan yang bersangkutan kepada keluarganya atau tempat tinggalnya melalui Kepala Kelurahan untuk dibina

Bagian Kedua

Pengendalian

Pasal 7

Pengendalian terhadap pelaksanaan Peraturan Daerah ini dilakukan oleh Tim

Bagian Ketiga

Partisipasi Masyarakat

Pasal 8

(1) Setiap masyarakat atau siapapun berkewajiban untuk melaporkan kepada petugasatau pejabat yang berwenang apabila ia mengetahui secara langsung atau menduga kuat sedang berlangsungnya kegiatan pelacuran.

(2) Petugas atau pejabat yang berwenang setelah menerima laporan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini menindaklanjutinya serta memberikan perlindungan kepada si pelapor

BAB IV

Ketentuan Pidana

Pasal 9

(1) Barangsiapa yang melanggar ketentuan PAsal 2 Ayat (1) dan ayat (2) Peraturan Daerah ini diancam kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda setinggi-tingginya Rp 15.000.000,- (Lima belas juta rupiah)

(2) Tindak pidana sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini adalah pelanggaran

BAB V

Penyidikan

Pasal 10

Penyidikan atas pelanggaran sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 9 Ayat (2) Peraturan Daerah ini dilakukan oleh penyidik Umum dan/atau Penyidik Pegawai Negeri Sipil dilingkungan Pemerintahan Daerah yang pengangkatannya ditetapkan dengan Peraturan perundang –undangan yang berlaku

Pasal 11

(1) Penyidik Pegawai Negeri Sipil sebagaimana yang dimaksud pada Pasal 10 Peraturan Daerah ini mempunyai wewenang dan kewajiban melaksanakan penyidikan sebagai berikut:

a. Menerima laporan atau pengaduan dari seseorang terhadap adanya tindak pidana

b. Melakukan tindakan pertama pada saat itu di tempat kejadian dan melakukan pemeriksaan

c. Menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka

d. Melakukan penyitaan benda atau surat

e. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang

f. Memanggil seseorang untuk di dengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi

g. Mendatangkan seorang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara

h. Menghentikan penyidikan setelah mendapatkan petunjuk dari Penyidik Umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindakan pidana dan selanjutnya melalui penyidik umum, tersangka atau keluarganya;

i. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang dapat dipertanggungjawabkan.

(2) Penyidik sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) pasal ini, memberitahukan dimulainya penyidikan dan menyampaikan hasil penyidikannya kepada Penuntut Umum sesuai ketentuan yang diatur dalam Undang – undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang – Undang Hukum Acara Pidana.

Pasal 12

Hal – hal yang belum diatur dalam Peraturan Daerah ini sepanjang mengenai teknis pelaksanaan dari Peraturan Daerah ini ditetapkan kemudian oleh Walikota

BABVI

KETENTUAN PENUTUP

Peraturan Daerah ini mul;ai berlaku pada tanggal diundangkan

Agar setiap orang dapat mengetahuinya memerintahkan Pengundangan Peraturan Daerah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Daerah Kota Tangerang

Ditetapkan Tangerang

Pada tanggal 23 November 2005

WALIKOTA TANGERANG

H. WAHIDIN HALIM

Diundangkan di Tangerang

Pada tanggal 23 November 2005
SEKRETARIS DAERAH KOTA TANGERANG

H.M HARRY MULYAZEIN

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.