Produk Media, Sastra dan Film

BAB I

Welcome to the Jungle!
Blue Film Digital
Gelombang Pornografi Awal 90-an
Video Digital
Portable Video Player
500 Video Porno Indonesia!

BAB II

Gelombang Pertama : VCD Porno Made in Indonesia
Pornografi: Tayangan Digital Terkini
VCD Porno produk Lokal
Ciri-ciri Film Porno Gelombang Pertama Indonesia
Mengapa Membuat Film Porno?
'Kebangkitan’ Film Porno Indonesia
Anak Muda dan Film Sex Indonesia
Pertanyaannya adalah: Mengapa Anak Muda Melakukannya?
Anak Muda Kehilangan Arah?
Produk Media, Sastra dan Film
Media Massa dan Pornografi
Model Wanita Sexy dan Media Massa
Tayangan Televisi Indonesia

BAB IV

Investigasi 500 film porno Indonesia!
Proses Penyebaran Film Porno Indonesia

BAB V

Video Porno dalam Handphone!
Format File Video Digital
3G dan Fenomena terkini
Fenomena Mini Video Cabul!
Mengapa Membuat Video Cabul?
Crime dan Voyeurism
Mini Video Cabul: Penyimpangan penggunaan teknologi media komunikasi, masa kini dan masa depan

Produk karya sastra seperti “Saman” yang ditulis Ayu Utami, “Jangan main-main dengan Kelaminmu”, Jenar Maesa Ayu dan sederet karya novel yang ditulis novelis perempuan masa kini menandai terbukanya cara berekspresi wanita lewat kata-kata. Ekspresi yang diungkap meliputi masalah ungkapan cinta, sex dan keinginan perempuan yang selama ini menjadi hal tabu yang jarang dituliskan dalam novel-novel angkatan terdahulu.

Fenomena novel “Garis Tepi Seorang Lesbian” yang ditulis Albertheine Endah menandai jenis kebebasan berekspresi perempuan terhadap dunia lesbian. Novel ini sempat menggemparkan dunia sastra, karena membeberkan lika-liku dan cara berpikir sepasang lesbian di dalam dunia yang hipokrit.

Di dunia film layar lebar, fenomena gaya hidup gay (homosexual) diperlihatkan dengan menarik di film Arisan! Adegan ciuman penuh nafsu antara Torra Sudiro dan Surya Saputra menjadi simbol legitimasi keberadaan kaum homosexual yang mulai berani menampakkan diri. Walaupun tidak dikategorikan sebagai produk pornografi, berbagai macam karya di atas mencerminkan sebuah perubahan besar pada perilaku kehidupan seksual di Indonesia. Sex bukan lagi sesuatu yang tabu dan ditutupi. Tetapi menjadi sebuah komoditas dan dibicarakan secara terbuka lewat berbagai saluran media massa. Komoditas ini melahirkan banyak pemikiran baru dan membuka keberanian kaum muda (kaum wanita khususnya) untuk lebih menentukan diri sendiri dan berdiskusi secara bebas dalam kaitannya dengan sex dan tubuh mereka sendiri.

Sementara, semenjak era reformasi digulirkan, sebagian kelompok yang diidentifikasi sebagai penganut lesbian dan homo seksual, lebih berani membuka diri. Mereka terjun di dunia hiburan dan menjadi icon-icon tersendiri di dunia televisi. Kita sering melihat tayangan televisi yang menggunakan model-model waria, lesbian dan homo seksual sebagai aktor dan aktris. Sebagian dari mereka hidup dibelakang layar, dan menjadi para pembuat tayangan itu sendiri. Dunia industri hiburan yang gemerlap menjadi ladang yang basah dan tempat beraktualisasi diri paling aman bagi kelompok-kelompok tersebut. Sebab industri hiburan menerima segala macam hal dari yang normal hingga yang paling aneh di diri manusia itu sendiri. Atas nama kata unik dan rating, berlombalah para pesohor dan pembuat tayangan menciptakan beragam keanehan yang ditawarkan lewat layar kaca. Dan secara tidak sadar, kita para pemirsa akan menerimanya menjadi sebuah kewajaran.

Begitu pula dengan tayangan porno, masuk lewat layar kaca dan film layar lebar. Hal-hal yang tabu di era industri film dan televisi tahun 70-an, seperti ciuman, berpelukan hingga hubungan badan, berubah menjadi tayangan yang ‘wajar’ di era industri hiburan era 2000-an. Obrolan tentang sex dan dialog semi porno yang terlarang di masa dulu, kini menjadi santapan sehari-hari dan diperlakukan sebagai kebutuhan berkomunikasi. Maka, mau tidak mau, kita mengalami pergeseran norma dan membuat pandangan kita terhadap segala hal tentang sex yang suci, diruntuhkan atas nama industri hiburan. Sex berubah menjadi ‘barang dagangan’ dan berkembang menjadi ‘mainan’. Selamat datang di era kebebasan.

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.