Ciri-ciri Film Porno Gelombang Pertama Indonesia

BAB I

Welcome to the Jungle!
Blue Film Digital
Gelombang Pornografi Awal 90-an
Video Digital
Portable Video Player
500 Video Porno Indonesia!

BAB II

Gelombang Pertama : VCD Porno Made in Indonesia
Pornografi: Tayangan Digital Terkini
VCD Porno produk Lokal
Ciri-ciri Film Porno Gelombang Pertama Indonesia
Mengapa Membuat Film Porno?
'Kebangkitan’ Film Porno Indonesia
Anak Muda dan Film Sex Indonesia
Pertanyaannya adalah : Mengapa Anak Muda melakukannya?
Anak Muda Kehilangan Arah?
Produk Media, Sastra dan Film
Media Massa dan Pornografi
Model Wanita Sexy dan Media Massa
Tayangan Televisi Indonesia

BAB IV

Investigasi 500 film porno Indonesia!
Proses Penyebaran Film Porno Indonesia

BAB V

Video Porno dalam Handphone!
Format File Video Digital
3G dan Fenomena terkini
Fenomena Mini Video Cabul!
Mengapa Membuat Video Cabul?
Crime dan Voyeurism
Mini Video Cabul: Penyimpangan penggunaan teknologi media komunikasi, masa kini dan masa depan

Industri film porno profesional dan berstatus hukum resmi di Indonesia hampir dapat dipastikan tidak ada secara de jure. Undang-undang dan peraturan hukum lainnya membatasi ruang gerak para pembuat film di Indonesia untuk tidak melakukan eksploitasi sexual secara berlebihan. Belum lagi norma dan sangsi masyarakat yang saat ini mudah sekali tersulut untuk berpendapat secara terbuka. Namun kondisi berbeda terjadi pada distribusi film porno ilegal yang sebagian besar diselundupkan dari luar negeri. Nama-nama ‘pabrik’ pembuatan film porno Internasional seperti Vivid Interactive, Hustler, Playboy dan beberapa nama terkenal dari Jepang dan Thailand membanjiri pasar VCD/DVD bajakan di negeri ini. Jutaan keping bertebaran dan dijajakan setiap hari di 6 kota besar di Indonesia. Dan munculnya film-film porno buatan lokal menjadi komoditas baru yang mendadak menjadi primadona. Primadona?

Film-film porno lokal Indonesia dibuat secara ‘independen’. Tidak adanya kejelasan status hukum dan keterangan detail siapa pelaku pembuatnya menjadikan produk-produk bebas yang tidak dilindungi hukum dan bebas digandakan siapa saja tanpa adanya peraturan yang jelas di bidang royalty. VCD “Bandung Lautan Asmara” telah terjual jutaan copy dan menghasilkan keuntungan luar biasa bagi para pengedarnya. Nilai ini berbanding terbalik dengan nasib pembuat dan pelakunya. Mereka hanya mendapatkan stigma negatif dan dianggap tidak bermoral oleh masyarakat. Hanya karena kecerobohan dan keisengan para pembuatnya yang sebenarnya tidak mendapatkan manfaat komersial sama sekali, malah mereka menjadi korban cemoohan media massa dan masyarakat. Pola pembuatan film porno ‘independen’ agaknya menjadi ciri khas berbagai film porno buatan lokal. Hal ini sangat menggelikan dan mengkhawatirkan, satu pihak dari sisi sindikat distributor film porno melihatnya sebagai celah bisnis yang menggiurkan, sementara dari pelaku pembuatnya tidak pernah menyadari bahwa mereka kelak hanya menjadi korban dari industri film porno itu sendiri.

Ciri-ciri film porno buatan lokal sebagian besar berisi rekaman pribadi, kamera tersembunyi dan teknis pembuatan yang sangat sederhana. Tidak adanya bukti proses paska produksi dalam tiap tayangan dan tidak adanya credit titles yang menjelaskan siapa saja aktor dan crew pembuat film-film tersebut menjadikan 6 VCD porno generasi pertama sebagai produk ‘main-main’. Anehnya, walaupun dibuat dengan serampangan, film-film porno buatan anak negeri menjadi incaran para penggila film porno Indonesia. Mungkin karena kesamaan ras dan dialog bahasa Indonesia yang serasa lebih mendekatkan pemirsa dengan adegan yang dibawakan pelaku. Atau karena jumlah film porno Indonesia yang relatif sangat sedikit di masa awal kemunculannya dibandingkan film porno hardcore buatan Amerika Serikat.

Dari sisi judul, 6 film porno buatan lokal sebenarnya tidak ditujukan untuk konsumsi pasar komersial oleh para pelaku pembuatnya. Film tersebut cenderung ditujukan untuk koleksi pribadi, tetapi oleh karena suatu hal tersebar luas ke masyarakat. Judul yang diberikan pada film-film tersebut murni hasil keisengan para pengganda dan distributornya. Mereka biasanya menggunakan judul parodi. Contohnya VCD “Bandung Lautan Asmara” adalah judul parodi dari peristiwa “Bandung Lautan Api” yang terjadi pada tahun 1946, jaman perjuangan kemerdekaan menghadapi penjajah. Lain lagi dengan judul “Gadis Baliku” yang dibuat karena melihat setting lokasi Bali yang dipakai sebagai tempat pembuatan film porno tersebut.

Film porno “Ganti Baju/9 artis” adalah jenis film porno yang menggunakan kamera tersembunyi. Para aktris yang menjadi model dalam film tersebut tidak menyadari bahwa rekaman telanjang dirinya disaat berganti pakaian, akan menjadi komoditas film porno ilegal. Jenis film ini masuk kategori kriminal, karena para pelaku perekaman sengaja mencuri gambar dan menyebarkannya demi keuntungan komersial. Mereka sengaja membuat para artis yang diambil gambar secara sembunyi kelak mendapatkan pelecehan dari masyarakat.

Dari sisi skenario dan pengadegan, sebagian besar film-film porno generasi awal menggunakan pendekatan ‘dokumenter-dokumentasi’. Tidak adanya skenario drama dan adegan yang sengaja direncanakan, menjadikan film-film adalah sebuah ‘realty show’ adegan sex dan pornografi. Dan ini menjadi sebuah pakem yang kelak diikuti ratusan video sex Indonesia di era berikutnya.

Unless otherwise stated, the content of this page is licensed under Creative Commons Attribution-Share Alike 2.5 License.